12 November 2010

tugas epidemiologi " PENCEMARAN PESTISIDA "

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa apa-apa yang ada dibumi dan seisinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Adapun seisi bumi tersebut terdapat makhluk hidup dan benda mati. Makhluk hidup juga beragam adanya, ada tumbuhan, hewan, dan manusia. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk yang lain. Meski begitu manusia tidaklah selalu baik sama halnya dengan hewan yang ada disekitarnya, hewan ada yang menguntungkan dan yang merugikan bagi manusia.

Dalam hidupnya manusia berkeinginan untuk selalu meningkatkan produksi tanaman dan hewan sebagai upaya untuk melangsungkan kehidupannya. Oleh karena itu, manusia tidak menginginkan makanannya diganggu oleh makhluk lain. Serangga, jamur, alang-alang, dan tikus merupakan makhluk hidup yang tidak diinginkan oleh manusia. Dalam rangka peningkatan produksi itulah, dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan pemberantasan hama dengan menggunakan zat kimia anti hama atau pestisida.

1.1.Jenis pestisida

Hama yang menyerang tanaman atau hewan sangat banyak jenisnya karena itu orang membuat bermacam-macam pestisida. Umumnya satu pestisida sangat ampuh terhadap satu jenis hama. Berdasarkan jenis hama yang akan diberantas, pestisida dapat digolongkan menjadi 4, yaitu :

1.1.1. Insektisida

Insektisida merupakan pestisida pencegah dan pembunuh serangga. Misalnya propoksur, doklorovinil dimetil fosfat, dan diazinon. Insektisida tidak saja digunakan dipertanian atau peternakan tetapi juga digunakan dirumah-rumah untuk membasmi kecoa, lalat, nyamuk, laba-laba, semut, rayap dan sebagainya.

1.1.2. Fungisida

Fungisida merupakan pestisida untuk jamur. Fungisida selain sebagai racun untuk jamur juga berkhasiat sebagai racun tanaman dan racun serangga misalnya organomerkuri dan natrium dikromat.

1.1.3. Rodentisida

Rodentisida merupakan pestisida pencegah dan pembasmi tikus. Rodentisida banyak digunakan didaerah persawahan, perladangan,dan dirumah. Misalnya senyawa arsen (warangan) dan thalium sulfat.

1.1.4. Herdisida

Herdisida merupakan pestisida pencegah dan pembasmi tanaman (biasanya jenis alang-alang). Alang-alang dapat dikatakan sebagai hama tanaman mengingat alang-alang merebut makanan dari tanaman yang ada dalam tanah. Misalnya amonium sulfonat dan penta klorofenol.

Mengingat keampuhannya membasmi hama maka perkembangan penggunaan pestisida sangat cepat. Pestisida sebagai racun umumnya meracuni semua jenis makhluk hidup termasuk manusia. Masalahnya ada jenis hama tertentu yang dapat menjadi kebal, sedangkan hewan pemakan hama teracuni dan mati. Akibatnya pertambahan hama menjadi lebih pesat. Untuk menanggulangi masalah tersebut maka orang membuat jenis pestisida lainnya.

1.2.Pencemaran pestisida

Pencemaran pestisida dapat terjadi bila pestisida digunakan secara berlebihan. Tanah disekitar tanaman akan tercemar dan membunuh makhluk kecil dalam tanah, antara lain bakteri, jamur, protozoa, cacing, dan insekta yang berfungsi sebagai penyubur tanah. Akibatnya tanah menjadi keras dan tandus.

Pencemaran air oleh pestisida terjadi melalui aliran air dari tempat kegiatan manusia yang menggunakan pestisida dalam rangka memperbanyak produksi pertanian dan peternakan. Kadar pestisida dalam air yang tinggi dapat membunuh organisme air antara lain ikan dan udang. Pada kadar yang rendah pestisida dalam air meracuni organisme kecil. Organisme kecil yang telah teracuni oleh pestisida itu, kemudian dimakan oleh ikan dan udang. Akibatnya ikan dan udang mengalami dua kali keracunan yaitu melalui insangnya dan melalui makanannya. Selanjutnya ikan dan udang yang keracunan itu ditangkap dan dimakan oleh manusia. Dengan demikian, manusia juga akan keracunan pestisida.

Dari uraian diatas pestisida dapat menguntungkan manusia dalam hal pemberantasan hama yang mengganggu tanaman manusia. Dan pestisida juga dapat merugikan apabila digunakan secara berlebihan.

Tekanan globalisasi terhadap pertanian telah menciptakan ketergantungan petani terhadap pengembangan pertanian konvensional yang berorientasi eksport. Sistem pertanian tersebut mempunyai andil yang sangat besar terhadap kehancuran lingkungan dan sistem kehidupan masyarakat lokal. Sistem pertanian yang diciptakan dibawah tekanan kepentingan pasar global tersebut bertujuan untuk memonopoli terhadap sumber daya agraria dan produksi pangan dunia. Kebijakan sudah berlangsung lama, sejak ditingkatkannya penggunaan pestisida, pupuk kimia, benih transgenic dan komersialisasi terhadap pertanian.

Penggunaan pestisida sangat berdampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Setiap hari ribuan petani dan para pekerja di pertanian diracuni oleh pestisida dan setiap tahun diperkirakan jutaan orang yang terlibat dipertanian menderita keracunan akibat penggunaan pestisida. Dalam beberapa kasus keracunan pestisida langsung, petani dan para pekerja di pertanian lainnya terpapar (kontaminasi) pestisida pada proses mencampur dan menyemprotkan pestisida. Di samping itu masyarakat sekitar lokasi pertanian sangat beresiko terpapar pestisida melalui udara, tanah dan air yang ikut tercemar, bahkan konsumen melalui produk pertanian yang menggunakan pertisida juga beresiko terkontaminasi pestisida.

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

Pestisida adalah suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Pestisida telah terbukti secara luas di seluruh dunia dapat menyelamatkan produk-produk pertanian dan perkebunan, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pestisida memegang peranan penting dalam melindungi tanaman, ternak, dan juga untuk mengontrol sumber-sumber penyakit (vector-borne diseases). Demikian juga penggunaan pestisida untuk memproteksi tanaman bagi petani di seputar Danau Buyan tidak terelakkan.

Terjadinya pencemaran pestisida terhadap lingkungan termasuk danau disebabkan oleh beberapa hal seperti cara aplikasi, wujud pestisida saat diaplikasikan, sifat tanah dan tanaman, volatilitas dan solubilitas pestisida, serta iklim.

2.1. Proses transfer pestisida

Transfer pestisida dapat terjadi melalui 5 cara, yaitu:

1. Adsorpsi adalah terikatnya pestisida dengan partikel-partikel tanah. Jumlah pestisida yang dapat terikat dalam tanah bergantung pada jenis pestisida, kelembaban, pH, dan tekstur tanah. Pestisida dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berlempung ataupun tanah yang kaya bahan-bahan organik, sebaliknya pestisida tidak dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berpasir. Adsorpsi pestisida yang kuat di dalam tanah mengakibatkan tidak terjadi penguapan sehingga tidak menimbulkan pencemaran terhadap air tanah maupun air danau (Anonim, 1996; Waldron, 1996).

2. Penguapan adalah suatu proses perubahan bentuk padat atau cair ke bentuk gas, sehingga dalam bentuk gas bahan tersebut dapat bergerak dengan bebas ke udara sesuai dengan pergerakan arah angin. Kehilangan akibat penguapan ini dapat menghancurkan tanaman yang jauh dari tempat dimana pestisida tersebut digunakan. Pestisida dapat menguap dengan mudah di samping memang pestisidanya bersifat mudah menguap, juga sebagai akibat dari tanahnya yang berpasir dan basah. Cuaca yang panas, kering dan berangin juga mempercepat terjadinya penguapan pestisida (Anonim,1996; Waldron, 1996).

3. Kehilangan pestisida saat aplikasi adalah kehilangan yang disebabkan terbawanya pestisida oleh angin saat disemprotkan. Kehilangan ini dipengaruhi oleh ukuran butiran semprotan, semakin kecil ukuran butiran semakin tinggi kemungkinan untuk hilang, kecepatan angin, jarak antara lubang penyemprot dengan tanaman target. Pestisida yang hilang atau tidak mengenai target ini dapat membahayakan atau mengkontaminasi tanaman lain, bahkan dapat membahayakan orang lain, ternak ataupun hewan bukan target. Demikian juga, pestisida ini dapat mencemari danau, sungai sehingga membahayakan biota yang ada di dalamnya (Anonim, 1996; Waldron, 1996).

4. Limpasan akhir adalah terbawanya pestisida bersama-sama aliran air menuju daerah yang lebih rendah. Pestisida yang terbawa ini dapat bercampur dengan air atau terikat dengan tanah erosi yang ikut terbawa. Banyaknya pestisida yang terbawa ini dipengaruhi oleh: kecuraman lokasi, kelembaban tanah, curah hujan, dan jenis pestisida yang digunakan. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pestisida akan dapat mencemari aliran air, sungai, danau, sumur maupun air tanah. Residu cemaran pestisida pada permukaan air dapat membahayakan tanaman, biota dan juga dapat mencemari air tanah (Anonim, 1996; Waldron, 1996).

5. Rembesan adalah perpindahan pestisida dalam air di dalam tanah. Perembesan dapat terjadi keseluruh penjuru, ke bawah, atas dan samping. Fakto-faktor yang mempengaruhi terjadinya perembesan adalah sifat-sifat pestisida dan tanah, dan interaksi pestisida dengan air seperti saat terjadinya hujan ataupun irigasi saat musim tanam. Proses perembesan dapat meningkat bila pestisidanya bersifat mudah larut dalam air, tanahnya berpasir, turun hujan saat penggunaan pestisida, dan pestisidanya teradsorpsi dengan kuat dalam tanah (Anonim, 1996; Waldron, 1996).

2.2. Proses degradasi pestisida

Proses degradasi adalah proses terjadinya peruraian pestisida setelah digunakan, dapat terjadi sebagai akibat adanya; mikroba, reaksi kimia, dan sinar matahari. Prosesnya dapat terjadi setiap saat dari hitungan jam, hari, sampai tahunan bergantung pada kondisi lingkungan dan sifat-sifat kimia pestisida (Anonim, 1996).

Degradasi akibat mikroba (microbial degradation) adalah degradasi pestisida oleh mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Proses degradasi oleh mikroba ini akan mengalami peningkatan bila: temperatur, pH tanah cocok untuk pertumbuhan mikroba, cukup oksigen, dan fertilitas tanahnya cukup baik.

1. Degradasi kimia (chemical degradation) adalah proses degradasi akibat terjadi reaksireaksi kimia. Tipe dan kecepatan reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh; ikatan antara pestisida dengan tanah, temperatur dan pH tanah.

2. Degradasi akibat sinar matahari (photodegradation) adalah degradasi pestisida oleh adanya sinar matahari. Tingkat degradasi akibat sinar matahari ini dipengaruhi oleh intensitas dan spectrum sinar matahari, lamanya terpapar, dan sifat pestisida. Pestisida dapat mengalami degradasi lebih cepat pada rumah kaca yang beratapkan plastik dibandingkan dengan yang beratapkan kaca, karena kaca mampu menahan sinar UV lebih baik dibandingkan plastik.

BAB 3

STUDI KASUS

3.1. Cemaran Pestisida Fosfat-organik di Air Danau Buyan Buleleng Bali

3.1.1. Permasalahan

Penggunaan pestisida oleh petani di sekitar tepian Danau Buyan tidak terelakan, data yang diperoleh dari kelompok tani di kawasan tersebut menunjukkan bahwa dalam setahun disemprotkan sekitar 1500 kg pestisida padat dan 140 L pestisida cair. Penggunaan pestisida ini juga memberikan dampak negatif, seperti dilaporkan oleh Wira Maharani (2004), didapatkan bahwa 28 % petani di sekitar Danau Buyan mengalami keracunan pestisida akibat terpapar saat penggunaan pestisida. Dilaporkan pula bahwa terdapat residu cemaran pestisida klor-organik (DDT dan klorotalonil) pada air Danau Buyan, namun cemaran tersebut masih jauh di bawah nilai ambang batas yang diizinkan (Putra Manuaba, 2007).

3.1.2. Tujuan

3.1.2.1. Mengetahui Kadar Fosfat-organik di Air Danau Buyan Buleleng Bali

3.1.3. Kerangka konsep

Pestisida fosfat-organik, residu cemaran, expost facto

3.1.4. Disain penelitian

Pada penelitian ini dilakukan studi mengenai residu cemaran pestisida golongan fosfat-organik dalam air danau tersebut. Penelitian ini adalah penelitian expost facto dengan rancangan Analytical Cross Sectional Study. Preparasi sampel dilakukan mengikuti prosedur standar, diteruskan dengan analisis residu cemaran pestisida golongan fosfatorganik menggunakan GC.

3.1.5. Hasil

Hasil penelitian menunjukkan pada 55 titik sampel air yang diambil di lima zona sampling didapatkan adanya tiga residu cemaran pestisida fosfat-organik, yaitu: dimetoat; klorfirifos; dan profenofos, masing-masing sebesar 9,3; 3,5; dan 2,1 ppb. Total residu cemaran pestisida golongan fosfat-organik ini semuanya adalah 14,9 ppb. Nilai ini jauh di bawah ambang batas yang diizinkan yaitu sebesar 100 ppb (SK Gubernur Bali No. 515 Tahun 2000).

3.1.6. saran

Data residu cemaran yang didapatkan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar (base line), sehingga sangatlah perlu untuk dilakukan monitoring residu cemaran baik di air, sedimen maupun ikan minimal setiap tahun untuk didapatkan suatu data base cemaran pestisida Danau Buyan.

3.2. Cemaran Pestisida Karbamat dalam Air Danau Buyan Buleleng Bali

3.2.1. Permasalahan

3.2.2. Tujuan

3.2.2.1. Mengetahui kadar Karbamat dalam air danau buyan Buleleng Bali

3.2.3. Kerangka konsep

Pestisida karbamat, vector-borne diseases, memproteksi tanaman residu

3.2.4. Disain penelitian

Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai residu cemaran pestisida golongan karbamat dalam air danau Buyan Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasi untuk menganalisis residu cemaran pestisida golongan karbamat dalam air Danau Buyan. Preparasi sampel dilakukan mengikuti prosedur standar, diteruskan dengan analisis residu cemaran pestisida golongan karbamat menggunakan GC-MS.

3.2.5. Hasil

Dari 55 titik sampel air yang diambil di lima zona sampling didapatkan adanya dua residu cemaran pestisida karbamat, yaitu: karbofuran dan metomil, masing-masing sebesar 6,1 dan 8,9 ppb. Total residu cemaran pestisida golongan karbamat ini semuanya adalah 15,0 ppb, jauh di bawah ambang batas yang diizinkan yaitu sebesar 100 ppb (SK Gubernur Bali No. 515 Tahun 2000).

3.2.6. Saran

Pada penelitian ini hanya dilakukan analisis pestisida golongan karbamat, sementara itu perkembangan penggunaan pestisida golongan lain sangatlah pesat sehingga perlu dilakukan skrining residu cemaran pestisida untuk golongan pestisida lain, selain yang disebutkan di atas.

3.3. Cemaran Pestisida Klor-organik dalam Air Danau Buyan Buleleng Bali

3.3.1. Permasalahan

Penggunaan pestisida oleh petani di sekitar tepian Danau Buyan tidak terelakkan, sehingga sudah pasti hal ini berdampak terhadap cemaran di lingkungan darat maupun perairan danau. Pada penelitian ini dilakukan studi mengenai residu cemaran pestisida klor-organik di air danau tersebut. Danau Buyan dipilih sebagai model, mengingat danau ini banyak mendapat tekanan akibat peningkatan aktivitas pemanfaatan kawasan danau, sebagai objek pariwisata, perkembangan aktivitas perhotelan, dan pertanian di wilayah tepian danau.

3.3.2. Tujuan

3.3.2.1. Mengatahui kadar Klor-organik dalam air danau buyan Buleleng Bali

3.3.3. Kerangka konsep

Pestisida klor-organik, residu cemaran, expost facto.

3.3.4. Disain penelitian

Penelitian ini adalah penelitian expost facto dengan rancangan Analytical Cross Sectional Study, yang dilakukan melalui dua tahapan yaitu penelitian di lapangan dalam menentukan zona sampling dan pengambilan sampel, kemudian diteruskan dengan penelitian laboratorium untuk melakukan analisis residu cemaran pestisida klor-organik di air. Preparasi sampel dilakukan mengikuti prosedur standar, diteruskan dengan analisis menggunakan Kromatografi Gas.

3.3.5. Hasil

Dari 55 titik sampel air yang diambil di lima zona sampling didapatkan adanya dua residu cemaran pestisida klor-organik, yaitu DDT dan klorotalonil. Residu cemaran DDT didapatkan sebesar 5,02 ppb jauh di bawah nilai ambang batas yaitu 42 ppb. Residu cemaran klorotalonil yang didapatkan dalam air adalah 1,99 ppb. Memang tidak ada nilai ambang batas yang tersurat pada peraturan yang ada, namun demikian residu cemaran klorotalonil ini masih di bawah nilai RfD sebesar 15 ppb.

3.3.6. Saran

Pada penelitian ini hanya dilakukan analisis pestisida dari golongan klor-organik sementara perkembangan penggunaan pestisida golongan lain seperti fosfat-organik dan karbamat sangatlah pesat sehingga perlu dilakukan skrining residu cemaran pestisida untuk golongan pestisida lain.

Data residu cemaran yang didapatkan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar (base line), sehingga sangatlah perlu untuk dilakukan monitoring residu cemaran baik di air, sedimen maupun ikan minimal setiap tahun untuk data base cemaran pestisida Danau Buyan.

BAB 4

PEMBAHASAN

Danau Buyan merupakan danau kaldera yang terbentuk dari hasil letusan gunung api dan runtuhan Gunung Beratan dan Buyan Purba. Keadaan ini dapat terlihat dari dinding sisi Utara danau yang curam dan membentuk tebing terjal. Danau Buyan memiliki daerah tangkapan seluas 24,1 km2; dengan panjang 3,7 km dan lebar 1,25 km. Luas permukaan airnya adalah 3,67 km2; kedalaman rata-rata 31,7 m; dan kedalaman maksimal 69 m. Volume air Danau Buyan adalah 116,25 X 106 m3.

Bahan pencemar berupa gas, material terlarut, dan partikulat dapat mencemari suatu sistem perairan danau melalui udara, tanah, limpasan pertanian, dan limbah baik publik, maupun industri. Richard dan Morgan (2002) melaporkan bahwa terjadi cemaran logam timbal dan poliklorinasi bifenil (PCB) pada ikan di Long Lake Amerika. Konsentrasi cemarannya telah berada pada ambang batas untuk dikeluarkan rekomendasi konsumsi ikan tersebut.

Di India juga dilaporkan terjadi bioakumulasi cemaran logam-logam berat seperti Pb, Cu, Cr, Mg dan Mn pada ikan di daerah Kalkuta Timur dan cemaran pestisida pada ikan Danau Kolleru. Demikian juga diketemukan adanya cemaran pestisida golongan klor organik pada air, sedimen dan ikan di Danau Paranoa Brasilia, dan Danau Taihu Cina Amarareni dan Pillala, 2001; Buddhadeb, et al., 2001).

Kondisi danau-danau di Indonesia juga mengalami hal serupa, seperti dilaporkan bahwa danau Tondano Manado, kualitas airnya telah melampui ambang batas air golongan B yaitu air untuk bahan baku air minum. Cemaran pestisida di beberapa lokasi pengambilan sampel danau tersebut mencapai 15,68 ppm, nilai ini jauh di atas nilai ambang batas yang diperbolehkan yaitu 0,01 ppm sesuai PP. No. 20 Tahun 1990 (Veronica, 2002). Untuk danau-danau di Pulau Bali, yaitu; Danau Tamblingan dan Buyan terletak di Kabupaten Buleleng, Danau Beratan di Kabupaten Tabanan dan Danau Batur di Kabupaten Bangli, juga mengalami nasib yang serupa (Sandi Adnyana, 2003). Keempat danau ini merupakan reservoir air untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh wilayah Pulau Bali. Di keempat danau ini, terutama di Danau Buyan telah terjadi peningkatan aktivitas penduduk, khususnya di bidang pertanian. Peningkatan aktivitas penduduk di sekitar danau mengakibatkan tekanan lingkungan terhadap danaupun meningkat. Berdasarkan hasil penelitian kualitas air Danau Buyan didapatkan bahwa kualitas airnya memenuhi baku mutu kelas III sesuai PP. Nomor 82 Tahun 2001. Baku mutu kelas III adalah syarat kualitas air yang digunakan untuk tanaman, peternakan, dan pemeliharaan ikan air tawar (Tantri Endarini, 2004).

Sifat-sifat kimia, biologi maupun fisika air merupakan indikator kualitas ekosistem di lingkungan air tersebut. Walaupun cemaran pada air danau berada di bawah nilai ambang batas yang ditetapkan, namun dapat mengakibatkan cemaran yang tinggi pada biota air termasuk ikan. Hal ini disebabkan terjadinya bioakumulasi pada biota tersebut sehingga beresiko bila dikonsumsi.

Penggunaan pestisida dalam menopang peningkatan produk pertanian maupun perkebunan telah banyak membantu untuk meningkatkan produksi pertanian. Namun demikian penggunaan pestisida ini juga memberikan dampak negatif baik terhadap manusia, biota maupun lingkungan. Erin, et al. (2001) mendapatkan bahwa terjadi resiko kematian janin dua kali lebih besar bagi ibu yang saat kehamilannya berusia 3-8 minggu tinggal dekat areal pertanian dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari daerah pertanian. Penggunaan herbisida klorofenoksi (yang mengandung 2,4-D) telah terbukti mengakibatkan resiko cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang bermukim didekat daerah pertanian (Schreinemachers, 2003).

Penggunaan pestisida oleh petani di sekitar tepian Danau Buyan tidak terelakan, data yang diperoleh dari kelompok tani di kawasan tersebut menunjukkan bahwa dalam setahun disemprotkan sekitar 1500 kg pestisida padat dan 140 L pestisida cair. Penggunaan pestisida ini juga memberikan dampak negatif, seperti dilaporkan oleh Wira Maharani (2004), didapatkan bahwa 28 % petani di sekitar Danau Buyan mengalami keracunan pestisida akibat terpapar saat penggunaan pestisida. Dilaporkan pula bahwa terdapat residu cemaran pestisida klor-organik (DDT dan klorotalonil) pada air Danau Buyan, namun cemaran tersebut masih jauh di bawah nilai ambang batas yang diizinkan (Putra Manuaba, 2007).

Mengingat hal yang telah diuraikan di atas, pada penelitian ini dilakukan studi mengenai residu cemaran pestisida fosfatorganik di air Danau Buyan. Pada penelitian ini dipilih Danau Buyan sebagai model, mengingat danau ini banyak mendapatkan tekanan akibat peningkatan aktivitas pemanfaatan kawasan danau, sebagai objek pariwisata, perkembangan aktivitas perhotelan, dan pertanian di wilayah tepian danau. Secara keseluruhan pemanfaatan kawasan tepian Danau Buyan adalah bagian Barat masih merupakan vegetasi alami darat berupa hutan, bagian Utara merupakan daerah sempadan terjal yang masih alami, bagian Timur merupakan daerah dengan aktivitas pertanian, dan bagian Selatan merupakan kawasan pemukiman, pertanian, perkebunan dan perikanan. Luas areal pertanian mencapai 377,55 ha atau sekitar 29,5% dari keseluruhan kawasan Danau Buyan (Dinas PU., 2000; Bapedalda Regional II, 2002; Sandi Adnyana, 2003).

Pada penelitian ini dilakukan skrining menggunakan 4 golongan fosfat-organik, yang terdiri dari; metamidopos, dimetoat, klorpirifos, dan profenofos. Dari 4 golongan pestisida fosfatorganik yang diskrining hanya terdeteksi ada 3 golongan yaitu dimetoat, klorpirofos, dan profenofos. Terjadinya pencemaran pestisida golongan fosfat-organik ini terhadap lingkungan danau Buyan disebabkan oleh beberapa hal seperti cara aplikasi, wujud pestisida saat diaplikasikan, sifat tanah dan tanaman, volatilitas dan solubilitas pestisida, serta iklim.

Rata-rata secara keseluruhan untuk dimetoat, klorpirifos, dan profenofos masing-masing adalah 9,3; 3,5; dan 2,1 ppb. Sehingga total pestisida golongan fosfat-organik pada air Danau Buyan yang didapat adalah 19,1 ppb. Nilai ini masih jauh di bawah nilai ambang batas yang diijinkan sesuai SK Gubernur Bali No. 515 Tahun 2000 yaitu sebesar 100 ppb.

Data cemaran residu fosfat-organik berdasarkan zona sampling menunjukkan bahwa, ternyata residu terbesar baik dimetoat, klorpirifos, maupun profenofos didapatkan di zona Timur dan Selatan. Residu cemaran fosfatorganik di zona Timur dan Selatan masing-masing didapatkan sebesar 14,2 ± 2,09 dan 21,0 ± 1,84 ppb untuk dimetoat; 1,3 ± 0,0089 dan 5,7 ± 0,042 ppb untuk klorpirifos; dan 2,9 ± 0,045 dan 3,8 ± 0,059 ppb untuk profenofos. Hal ini disebabkan pada zona Timur dan Selatan merupakan zona terjadinya difusi terbesar akibat pemanfaatan lahan untuk pertanian dan peternakan yang intensif di tepian zona-zona tersebut.

Sifat racun dimetoat adalah sedang bila paparannya melalui makanan, pernafasan dan kulit. LD50 oral pada tikus adalah antara 180 - 330 mg/kg. Sedangkan LD50 oral pada mencit 160 mg/kg dan pada kelinci 400 - 500 mg/kg. Pada babi toksisitas oral senyawa ini dilaporkan mencapai sekitar 550 - 600 mg/kg. LD50 dermal dilaporkan mencapai 100 - 600 mg/kg pada tikus (PIP., 1995).

Keracunan klorpirifos mempengeruhi sistem saraf pusat, kardiovaskular, sistem respirasi, dan dapat mengakibatkan gangguan terhadap sistem immun. Senyawa ini juga bersifat mengiritasi kulit. LD50 oral untuk tikus mencapai 95 – 270 mg/kg, untuk mencit 60 mg/kg, pada kelinci 1000 mg/kg, untuk anak ayam 32 mg/kg, babi 500-504 mg/kg, dan pada domba 800 mg/kg (PIP., 1995).

Pestisida berbahan aktif profenofos termasuk pestisida dengan toksisitas moderat, sehingga di golongkan ke dalam senyawa dengan toksisitas kelas II. Daya toksisitasnya sama seperti pestisida golongan fosfat-organik lainnya yaitu sebagai inhibisi kolinesterase. Belum ada informasi apakah senyawa profenofos dapat mengakibatkan kanker. Toksisitasnya pada ikan black bullhead memberikan nila LC50 sebesar 20 mg/L menunjukkan sifat racun yang sangat toksik. Pada ikan Japanese eel didapatkan LC50nya sebesar 2.750 mg/L dapat dikatakan tidak toksik terhadap ikan tersebut. Studi lain menunjukkan bahwa LC50nya pada ikan crucian crap sebesar 90 m/L jadi bersifat sangat toksik terhadap ikan coba yang digunakan (Wen-Yee Lee, et al., 2003; PIP., 1995).

Data residu cemaran pestisida golongan fosfat-organik yang didapatkan ini memang masih jauh di bawah nilai ambang batas yang diizinkan, namun dengan penggunaan pestisida yang berkelanjutan tidak menutup kemungkinan terjadi bioakumulasi yang kemudian disertai dengan biomagnifikasi. Kalau hal ini terjadi maka sudah barang tentu akan dapat memberikan dampak negatif. Namun, mengingat di lingkungan juga terjadi proses degradasi pestisida yang dapat diakibatkan oleh sinar matahari maupun bakteri sehingga hal ini dapat mengurangi residu cemaran. Demikian juga waktu paruh dari pestisida yang relatif singkat juga mengakibatkan residu pestisida golongan fosfat-organik ini dapat berkurang.

Pada penelitian ini dilakukan skrining menggunakan 4 pestisida golongan karbamat, yaitu: karbofuran, benomil, merkaptodimetur, dan metomil. Dari 4 golongan pestisida karbamat yang diskrining hanya terdeteksi ada 2 golongan yaitu karbofuran dan metomil. Terjadinya pencemaran pestisida golongan karbamat ini terhadap lingkungan danau Buyan disebabkan oleh beberapa hal seperti cara aplikasi, wujud pestisida saat diaplikasikan, sifat tanah dan tanaman, volatilitas dan solubilitas pestisida, serta iklim.

Rata-rata secara keseluruhan untuk karbofuran dan metomil masing-masing adalah 6,1 dan 8,9 ppb. Sehingga total pestisida golongan karbamat ini di dalam air Danau Buyan yang didapat adalah 15,0 ppb. Nilai ini masih jauh di bawah nilai ambang batas yang diijinkan sesuai SK Gubernur Bali No. 515 Tahun 2000 yaitu sebesar 100 ppb.

Data residu cemaran pestisida golongan karbamat yang didapatkan ini memang masih jauh di bawah nilai amabang batas yang diizinkan, namun dengan penggunaan pestisida yang berkelanjutan tidak menutup kemungkinan terjadi bioakumulasi yang kemudian disertai dengan biomagnifikasi. Kalau hal ini terjadi maka sudah barang tentu akan dapat memberikan dampak negatif. Namun demikian, mengingat di lingkungan juga terjadi proses degradasi pestisida yang dapat diakibatkan oleh sinar matahari maupun bakteri sehingga hal ini dapat mengurangi residu cemaran. Demikian juga waktu paruh dari pestisida yang relatif singkat juga mengakibatkan residu pestisida golongan fosfat-organik ini dapat berkurang (Anonim, 1996).

Ditemukan adanya residu cemaran karbofuran dan metomil di dalam air Danau Buyan juga tidak terlepas dari penggunaan pestisida oleh petani di seputar danau tersebut. Para petani menggunakan pestisida puradan 3G dan Petrofur 3G yang berbahan aktif karbofuran untuk melindungi tanaman mereka dari serangan hama. Seperti kita ketahui Danau Buyan adalah danau yang tidak memiliki outlet dan danau ini juga berfungsi sebagai penampung segala bentuk cemaran baik yang berasal dari limbah domestik maupun pertanian. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya residu cemaran pestisida golongan karbamat yang didapatkan adalah sebagai akibat penggunaan pestisida yang telah dilakukan secara terus menerus.

Besarnya residu cemaran karbofuran dan metomil yang didapatkan di masing-masing zona sampling memberikan kecendrungan bahwa cemaran tertinggi untuk kedua pestisida tersebut didapatkan di zona Timur dan Selatan kemudian disusul dengan Zona Tengah Barat dan Utara. Hal ini sejalan dengan pemanfaatan kawasan di tepizona-zona sampling yang diambil. Kecendrungan didapatkannya cemaran pestisida karbofuran dan metomil yang tinggi di zona Timur dan Selatan adalah sejalan dengan pemanfaatan lahan ditepian zona tersebut sebagai lahan pertanian. Kemudian residu cemaran ini akan terdistribusi ke tengah, barat dan utara. Di kawasan barat dan utara adalah berupa hutan alami yang relatif belum banyak dijamah.

Pada penelitian ini dilakukan skrining menggunakan 7 pestisida golongan klor-organik meliputi; DDT, DDE, dieldrin, klor, dan a-BHC, dikofol, dan klorotalonil. Dari ketujuh pestisida skrining ini yang terdeteksi hanya 2 jenis yaitu DDT dan klorotalonil. Rata-rata secara keseluruhan untuk DDT dan klortalonil masing-masing sebesar 5,0 dan 1,9 ppb.

Masih diketemukan adanya DDT dalam air Danau Buyan tidak terlepas dari sifat DDT yang sangat persisten dengan waktu paruh mencapai 15 tahun. Di samping sifatnya yang hidrofobik, senyawa-senyawa pestisida golongan klor-organik ini juga dapat menyebar melalui uptake dan translokasi oleh tanaman sehingga masih diketemukan di lingkungan dengan waktu paruh tertentu (PIP, 1995; Wen-Yee, et. al. 2003). Penggunaan DDT di Indonesia dimulai tahun 1952 untuk mengendalikan penyakit malaria, namun karena diketemukan bersifat karsinogenik maka tidak digunakan lagi sejak tahun 1984. Kemudian tahun 1993 Departemen Pertanian Indonesia melarang peredarannya. Hasil pemantauan cemaran DDT di seluruh Indonesia menemukan masih adanya cemaran DDT dengan kisaran antara 0,002- 3,910 ppb di dalam air, 0,240-713,4 ppb pada sedimen, serta 0,340 – 1,282 ppb di tanah (KLH dan UNU, 2004). Feng, et. al. (2003) melaporkan bahwa di Cina walaupun penggunaan DDT sudah dilarang sejak tahun 1972, namun di Danau Taihu masih diketemukan adanya residu DDT dalam air dengan rentangan konsentrasi 0,9-9,3 ppb, pada sedimen 0,1 – 8,8 ppb dan pada ikan 3,7 – 23,5 ppb. Residu cemaran pestisida klor-organik juga masih diketemukan pada air, sedimen dan ikan Danau Paranoa Brasilia. Dilaporkan bahwa residu DDT pada sedimen mencapai rentangan 0,56 – 12,6 ppb, dan pada ikan mencapai 77,7 ppb(Caldas, 1999).

Pada penelitian ini didapatkan rata-rata residu cemaran pestisida DDT dalam air Danau Buyan sebesar 5,0 ppb. Nilai ini berada di bawah nilai ambang batas maksimum 42 ppb untuk DDT (SK Gubernur Bali No. 515 Tahun 2000).

Hasil penelitian ini juga mendapatkan bahwa terdapat residu cemaran pestisida klorotalonil dalam air Danau Buyan. Pestisida klorotalonil seperti juga pestisida golongan klor-organik lainnya, dilihat dari struktur kimianya semestinya tidak larut dalam air, namun dalam penelitian ini masih terdeteksi keberadaan residu cemarannya baik dalam air maupun sedimen Danau Buyan. Hal ini dapat terjadi karena senyawa ini dapat terikat pada materi organik yang bersifat asam di dalam air danau (Caroline, 1997). Besarnya residu cemaran pestisida klorotalonil dalam air 1,9 ppb. Pada baku mutu yang ditetapkan sesuai SK Gubernur Bali No. 515 Tahun 2000 memang tidak ada tersurat mengenai ambang batas cemaran untuk pestisida klorotalonil. Namun demikian, residu cemaran pestisida klorotalonil yang didapatkan dalam air Danau Buyan ini masih jauh berada di bawah nilai ADI untuk senyawa tersebut sebesar 30 ppb (PIP. 1995; Caroline, 1997).

BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Dari data hasil analisis laboratorium penentuan residu cemaran pestisida pada sedimen Danau Buyan didapatkan bahwa pada air Danau Buyan terkandung residu cemaran pestisida. Residu cemaran pestisida yang didapatkan adalah dimetoat, klorpirifos, dan profenofos dari golongan fosfat-organik.

2. Residu cemaran pestisida dimetoat, klorpirifos, dan profenofos di air Danau Buyan didapatkan masing-masing sebesar 9,3; 3,5; dan 2,1 ppb. Total keseluruhan residu cemaran pestisida golongan fosfat-organik di air Danau Buyan adalah 19,1 ppb. Residu cemaran ini masih jauh di bawah nilai ambang batas yaitu 100 ppb (SK Gubernur Bali No, 515 Tahun 2000).

3. Dari data hasil analisis laboratorium penentuan residu pestisida karbamat pada air, didapatkan pestisida karbamat karbofuran dan metomil. Keduanya terdapat jauh di bawah nilai batas ambang yang diijinkan.

4. Berdasarkan zona sampling didapatkan konsentrasi tertinggi kedua cemaran tersebut di zona timur dan selatan, menyusul zona tengah, barat, dan utara. Hal ini sejalan dengan pemanfaatan kawasan di tepian zona-zona tersebut. Zona bagian tepi timur dan selatan adalah daerah pertanian, sedangkan zona barat dan utara masih berupa hutan yang belum dijamah.

5. Data hasil analisis didapatkan bahwa dalam air Danau Buyan terkandung residu cemaran pestisida. Residu cemaran pestisida yang didapatkan adalah DDT dan klorotalonil dari golongan klor-organik.

6. Residu cemaran DDT dalam air Danau Buyan didapatkan sebesar 5 ppb. Residu cemaran ini masih jauh di bawah nilai ambang batas yaitu 42 ppb (SK Gubernur Bali No, 515 Tahun 2000). Residu cemaran klorotalonil yang didapatkan pada air adalah 1,9 ppb. Memang tidak ada nilai ambang batas yang tersurat pada SK Gubernur yang disebutkan di atas, namun demikian residu cemaran klorotalonil ini masih di bawah nilai RfD sebesar 15 ppb, dan ADI sebesar 30 ppb (PIP, 1995; Caroline, 1997).

5.2. Saran

Pada penelitian ini dilakukan analisis pestisida dari golongan fosfat-organik, karbamat, klor-organik sementara itu perkembangan penggunaan pestisida golongan lain sangatlah pesat sehingga perlu dilakukan skrining residu cemaran pestisida untuk golongan pestisida lain, selain yang disebutkan di atas.

Data residu cemaran yang didapatkan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar (base line), sehingga sangatlah perlu untuk dilakukan monitoring residu cemaran baik di air, sedimen maupun ikan minimal setiap tahun untuk didapatkan suatu data base cemaran pestisida Danau Buyan.

DAFTAR PUSTAKA

http://keslingmks.wordpress.com/2009/02/14/toksilogi-pestisida/, diakses tanggal 04 Maret 2010

http://prajapratama.blogspot.com/2008/05/pestisida.html, diakses tanggal 04 Maret 2010

1 komentar: